Dear ...
Mei
2017, tepat setahun yang lalu drama kehidupan itu dimulai.
Bagaimana
kabarmu hari ini? Semakin bahagia bukan? Syukurlah jika kau masih bisa
berbahagia. Aku sengaja membuat tulisan ini, hanya untuk mengenang hal – hal
yang pernah ku lalui bersamamu. Kau pasti tahu aku tidak memiliki hobi yang
tetap bukan? Tak ada salahnya kan jika aku mulai belajar menulis dan menghiasi
blog pribadiku? Tidak, tidak bukan maksudku menyindirmu atau menyalahkanmu,
menyudutkanmu, dan membuat dirimu paling bersalah di dunia. Bukan itu maksudku.
Aku hanya ingin menulis apa yang ingin aku tulis.
Kau
tahu? Sejak saat kau pergi, tak ada yang berubah dari kehidupanku. Rutinitasku
sebagai intern, sebagai mahasiswa, tak ada yang berubah sama sekali. semuanya
masih tetap sama. Hanya saja tak ada rupamu yang ku lihat saat pagi hari ketika
aku menjemputmu, tak ada lagi ajakan makan siang saat di kantor yang sering kau
tawarkan, tak ada lagi candaan bersamamu saat makan malam sepulang bekerja.
Kau
tahu apa yang ada dipikiranku? Semuanya seakan telah kau atur untuk tidak
bertemuku. Seakan kau sudah memutus tali silahturahmi yang sudah lama kita
bangun.
Kau
tahu? Sejak perpisahan itu pikiranku menjadi tidak fokus. Kau, dan sahabatku
boleh menyalahkanku. Aku memang bodoh. Seharusnya ku pendam rasa itu dalam –
dalam. Maafkan
atas egoku yang tidak bisa ku kendalikan. Maafkan aku yang tiba – tiba hadir
dalam hidupmu ketika kau telah memilihnya. Maafkan aku membuatmu bingung. Dan
maafkan aku yang membuatmu menangis.
Kau, sebagai seorang pria dewasa seharusnya juga tidak
mempermainkan perasaan perempuan. Tak usah ada kata “mencoba” untuk menyukai
seseorang. Karna pada dasarnya, perasaan tidak bisa dipaksakan datang secepat
itu. kau, sebagai seorang pria dewasa seharusnya tidak melakukan hal – hal yang
bisa menimbulkan kesalahpahaman. Dan kau, sebagai seorang pria dewasa
seharusnya bisa lebih tegas untuk memilih. Ah sudahlah.
Kau ingat saat ayahku tak sadarkan diri di ruang ICU?
Kau yang ku harapkan untuk sekedar menanyai kabar ayahku, tidak ada sama sekali
ucapan pedulimu untukku. Sebenci inikah dirimu? Kau ingin aku biasa saja, kau
ingin aku menjadi teman biasa lagi. Bukankah wajar, seorang teman bahkan
sahabat untuk menanyakan keadaan ayah sahabatnya? Segengsi itukah dirimu? Kau
tau bagaimana perasaaku saat itu? kau pergi dengan sejuta harapan yang kau
tinggalkan di hidupku, kau pergi tepat saat keluargaku terkena musibah.
Hidupmu mungkin saja jauh lebih bahagia saat
ini tanpa kehadiranku. Tak ada lagi suara gaduh yang selalu mengingatkanmu
untuk ini dan itu. Tak ada lagi beban berat di motormu yang selalu memintamu
untuk berangkat bersama ke tempat kerja. Kau sudah pernah memilih bahagiamu
bersamaku. Aku tidak peduli cacian sahabat dan nasihat mereka untuk
melupakanmu. Begitupun engkau. Kamu yang menyanyangi wanita lain aku juga tahu
rasanya. Tidak mudah untuk bertahan di saat ada 2 pilihan yang datang di hidup
kita. Aku adalah aku. Dan dia adalah dia. Aku yang sekarang adalah aku yang
sudah menjadi lebih baik karena cacian dan nasihatmu itu. ku tinggalkan hobi
yang sangat aku sukai demi bisa lebih baik. Ku ubah sikapku menjadi lebih diam
dan tidak berkata kasar lagi juga sudah ku lakukan. Tapi memang sulit
dipaksakan..
Apakah rasanya sesakit ini? Sudah 3 kali ku
rasakan sakit seperti ini. Tapi kali ini rasanya sangat sangat sangat sakit.
Kau yang hadir dengan berjuta harapan yang kau berikan padaku, mendadak runtuh
seperti gedung yang terkena petir. Tak ada kabar darimu lagi. Tak ada chat
darimu lagi. Ibumu juga seakan sudah kau beri tahu untuk tidak menghubungiku
lagi. Kenapa sampai begini? Kau yang memulai memberikan sejuta harapan ini,
tapi kau sendiri yang menghancurkannya.
Tak sedikitpun ada rasa menyesal di hatiku
pernah bertemu dan mempunyai cerita hidup bersamamu. Apalagi mengungkapkan
perasaanku padamu. Terimakasih. Terimakasih sudah membangun pulau harapan yang
indah walaupun tak bisa lagi ku rasakan indahnya. Terimakasih sudah membuatku
sadar, bahwa Allah tidak suka hambanya yang terlalu berharap kepada seseorang.
Terimakasih sudah membuatku sadar, bahwa sebagai perempuan tidak boleh mudah
terbawa perasaan. Ini hukumanku, ini balasan untukku, balasan dari Allah padaku
pedihnya sebuah pengharapan. Astagfirullahh.
Aku tak pernah mendoakan hal-hal buruk
terjadi di hidupmu. Sekali lagi, terima kasih. Karena dengan caramu ini, aku
menjadi semakin yakin bahwa Allah memang sangat menyayangiku. Dan Allah
mengajakku untuk lebih bersabar dan ikhlas dengan pergimu dari hidupku.
Untukmu, yang pernah singgah di hatiku.
Regards,
Nisa
0 komentar