Dear ...

by - Mei 14, 2017

Mei 2017, tepat setahun yang lalu drama kehidupan itu dimulai.
Bagaimana kabarmu hari ini? Semakin bahagia bukan? Syukurlah jika kau masih bisa berbahagia. Aku sengaja membuat tulisan ini, hanya untuk mengenang hal – hal yang pernah ku lalui bersamamu. Kau pasti tahu aku tidak memiliki hobi yang tetap bukan? Tak ada salahnya kan jika aku mulai belajar menulis dan menghiasi blog pribadiku? Tidak, tidak bukan maksudku menyindirmu atau menyalahkanmu, menyudutkanmu, dan membuat dirimu paling bersalah di dunia. Bukan itu maksudku. Aku hanya ingin menulis apa yang ingin aku tulis.

Kau tahu? Sejak saat kau pergi, tak ada yang berubah dari kehidupanku. Rutinitasku sebagai intern, sebagai mahasiswa, tak ada yang berubah sama sekali. semuanya masih tetap sama. Hanya saja tak ada rupamu yang ku lihat saat pagi hari ketika aku menjemputmu, tak ada lagi ajakan makan siang saat di kantor yang sering kau tawarkan, tak ada lagi candaan bersamamu saat makan malam sepulang bekerja.
Kau tahu apa yang ada dipikiranku? Semuanya seakan telah kau atur untuk tidak bertemuku. Seakan kau sudah memutus tali silahturahmi yang sudah lama kita bangun.

Kau tahu? Sejak perpisahan itu pikiranku menjadi tidak fokus. Kau, dan sahabatku boleh menyalahkanku. Aku memang bodoh. Seharusnya ku pendam rasa itu dalam – dalam. Maafkan atas egoku yang tidak bisa ku kendalikan. Maafkan aku yang tiba – tiba hadir dalam hidupmu ketika kau telah memilihnya. Maafkan aku membuatmu bingung. Dan maafkan aku yang membuatmu menangis.

Kau, sebagai seorang pria dewasa seharusnya juga tidak mempermainkan perasaan perempuan. Tak usah ada kata “mencoba” untuk menyukai seseorang. Karna pada dasarnya, perasaan tidak bisa dipaksakan datang secepat itu. kau, sebagai seorang pria dewasa seharusnya tidak melakukan hal – hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Dan kau, sebagai seorang pria dewasa seharusnya bisa lebih tegas untuk memilih. Ah sudahlah.

Kau ingat saat ayahku tak sadarkan diri di ruang ICU? Kau yang ku harapkan untuk sekedar menanyai kabar ayahku, tidak ada sama sekali ucapan pedulimu untukku. Sebenci inikah dirimu? Kau ingin aku biasa saja, kau ingin aku menjadi teman biasa lagi. Bukankah wajar, seorang teman bahkan sahabat untuk menanyakan keadaan ayah sahabatnya? Segengsi itukah dirimu? Kau tau bagaimana perasaaku saat itu? kau pergi dengan sejuta harapan yang kau tinggalkan di hidupku, kau pergi tepat saat keluargaku terkena musibah.

Hidupmu mungkin saja jauh lebih bahagia saat ini tanpa kehadiranku. Tak ada lagi suara gaduh yang selalu mengingatkanmu untuk ini dan itu. Tak ada lagi beban berat di motormu yang selalu memintamu untuk berangkat bersama ke tempat kerja. Kau sudah pernah memilih bahagiamu bersamaku. Aku tidak peduli cacian sahabat dan nasihat mereka untuk melupakanmu. Begitupun engkau. Kamu yang menyanyangi wanita lain aku juga tahu rasanya. Tidak mudah untuk bertahan di saat ada 2 pilihan yang datang di hidup kita. Aku adalah aku. Dan dia adalah dia. Aku yang sekarang adalah aku yang sudah menjadi lebih baik karena cacian dan nasihatmu itu. ku tinggalkan hobi yang sangat aku sukai demi bisa lebih baik. Ku ubah sikapku menjadi lebih diam dan tidak berkata kasar lagi juga sudah ku lakukan. Tapi memang sulit dipaksakan..

Apakah rasanya sesakit ini? Sudah 3 kali ku rasakan sakit seperti ini. Tapi kali ini rasanya sangat sangat sangat sakit. Kau yang hadir dengan berjuta harapan yang kau berikan padaku, mendadak runtuh seperti gedung yang terkena petir. Tak ada kabar darimu lagi. Tak ada chat darimu lagi. Ibumu juga seakan sudah kau beri tahu untuk tidak menghubungiku lagi. Kenapa sampai begini? Kau yang memulai memberikan sejuta harapan ini, tapi kau sendiri yang menghancurkannya.

Tak sedikitpun ada rasa menyesal di hatiku pernah bertemu dan mempunyai cerita hidup bersamamu. Apalagi mengungkapkan perasaanku padamu. Terimakasih. Terimakasih sudah membangun pulau harapan yang indah walaupun tak bisa lagi ku rasakan indahnya. Terimakasih sudah membuatku sadar, bahwa Allah tidak suka hambanya yang terlalu berharap kepada seseorang. Terimakasih sudah membuatku sadar, bahwa sebagai perempuan tidak boleh mudah terbawa perasaan. Ini hukumanku, ini balasan untukku, balasan dari Allah padaku pedihnya sebuah pengharapan. Astagfirullahh. 
Aku tak pernah mendoakan hal-hal buruk terjadi di hidupmu. Sekali lagi, terima kasih. Karena dengan caramu ini, aku menjadi semakin yakin bahwa Allah memang sangat menyayangiku. Dan Allah mengajakku untuk lebih bersabar dan ikhlas dengan pergimu dari hidupku.

Untukmu, yang pernah singgah di hatiku.
Regards,
Nisa


You May Also Like

0 komentar